Tahap 03.1 MEDIA SOSIAL DAN DEMOKRASI? JADI ANCAMAN ATAU HARAPAN?

Tahap 03


SUDAH sejak satu dekade lalu media sosial diprediksi akan turut menyemarakkan kontestasi politik di negeri ini. Penggunaan media sosial untuk penggalangan masyarakat, penanganan bencana, penyebarluasan simpati kepada yang tidak didengar, sudah sering kita dengar sejak bermunculan kasus ‘Koin untuk Prita’, ‘Perlawanan Cicak Vs Buaya’, dan lain-lain. Tak ayal dunia politik pun turut mempergunakan sarana media sosial sebagai bagian penting dari kampanye politik, bahkan menjadi suatu kancah baru kontestasi di antara politisi.

Sudah sejak dua pemilihan umum nasional terakhir (2009 dan 2014) media sosial menjadi suatu ranah baru yang perlu diperhitungkan. Silakan dicermati, dalam dua pemilu terakhir itu kita melihat penggalangan massa kampanye dalam bentuk pawai, pertemuan besar di lapangan terbuka, dan sebagainya, mendapat saingan berat dengan adanya media sosial, yang telah menghasilkan lapangan baru untuk berkompetisi, saling cari simpati, serta mencerca para pesaing.

Pertanyaannya kemudian adalah, ketika media sosial makin berkembang dan mulai mengungguli pertemuan massal yang bersifat fisik, apakah kompetisi atau kontestasi politik ini menjadi berjalan lebih baik atau menjadi lebih anarkis?

Atau dalam bahasa lain, apakah media sosial betul memberikan suatu sumbangan bagi situasi demokrasi deliberatif, di saat berbagai pihak yang berkontestasi mendapat ruang untuk didengar dan akhirnya, mereka yang terbaiklah yang kemudian menjadi pilihan masyarakat?

Jika kita bicara dari konteks yang negatif, mana yang lebih merugikan, pengerahan massa lewat pawai yang rentan berbenturan dengan kelompok massa lainnya atau pengerahan opini, misinformasi, fabrikasi yang dihasilkan dalam bentuk informasi lewat media online atau media sosial, yang bisa menghasilkan kecurigaan lebih dalam, antipati pada kelompok lain, dan ketidakmauan mendengar pandangan yang berbeda?

Sebelum menjawab itu dalam konteks Indonesia, kita mungkin perlu mencermati mengapa majalah asal Inggris, The Economist, dalam edisi 4-10 November 2017 sampai menulis headline ‘Social media’s threat to democracy?’ Apakah sedemikian parahnya situasi media sosial yang ada saat ini sehingga The Economist tak ragu menyebutnya sebagai ‘ancaman bagi demokrasi’. Dalam konteks apa, The Economist sampai pada kesimpulan demikian?

Editorial yang diajukan The Economist menyebutkan ‘media sosial pernah tampil dengan suatu harapan bahwa mereka akan memberikan pencerah­an pada dunia politik, penyampaian informasi yang akurat, dan komunikasi yang tak henti-hentinya ditujukan untuk membantu orang-orang baik untuk memberantas korupsi, memerangi kebodohan, serta mengungkap kebohongan’. Akan tetapi, melihat kenyataannya, harapan tadi tinggallah harapan yang menjadi niatan baik, tetapi sulit terwujud sebagai kenyataan.

Berkaca pada pemilihan umum di Amerika pada 2015, data yang dikutip The Economist menunjuk pada kenyataannya banyak sekali warga Amerika yang mengakses misinformasi yang dilakukan Rusia dalam platform seperti Facebook dan kanal Youtube. The Economist menambahkan fenomena politik menjadi makin buruk tidak hanya terjadi di Amerika, tetapi juga di Spanyol dan Afrika Selatan.

The Economist menyimpulkan ‘penggunaan media sosial tidak hanya menyebabkan keterbelahan dalam masyarakat, tetapi juga penyebarluasan keterbelahan itu’. Majalah ini berharap media sosial, walaupun telah disalahgunakan sejumlah pihak, dengan suatu keinginan kuat, masyarakat dapat meredamnya dan mimpi tentang pencerahan dalam masyarakat masih akan bisa terwujud.

Kita sama-sama tahu bahwa fenomena hoaks telah mencemari atau menebar racun dalam demokrasi yang kita jalani saat ini. Filsuf Jerman, Jurgen Habermas, percaya bahwa masyarakat perlu menerapkan apa yang ia sebut sebagai demokrasi deliberatif, yaitu kesempatan kepada banyak pihak untuk menyampaikan pendapat mereka, yang paling berbeda sekalipun, dan kemudian membiarkan masyarakat mengambil keputusan atas informasi yang beragam tersebut.

Hoaks di sini bukanlah merupakan bagian dari demokrasi karena jika diteropong lewat pendekatan kebebasan memperoleh informasi (freedom of information), masyarakat perlu memiliki informasi yang lengkap dan terbuka untuk mengambil keputusan dalam pelbagai aspek kehidupannya.

Apa yang akan terjadi jika informasi yang ingin dijadikan pegangan ialah informasi yang tak akurat, sengaja dipelintir ataupun difabrikasi? Hoaks ini racun bagi suatu kebebasan memperoleh informasi, sementara kita sering mendengar bahwa kebebasan memperoleh informasi adalah oksigen bagi demokrasi.

Menatap 2018

Media sosial di Indonesia yang terkait dengan politik berkembang atas tiga motif dasar menurut saya. Pertama ialah sebagai bagian dari perluasan pengaruh politik dari kandidat tertentu kepada para konstituennya ataupun kepada mereka yang belum punya pilihan.

Kedua, sebagai bagian dari strategi kampanye sekaligus strategi menyerang yang ditujukan pada pihak lawan. Ketiga, sebagai bagian dari kegiatan ekonomi yang bisa bertumpang tindih dengan motif lainnya.

Atas dasar itulah, kita akan melihat media sosial bakal semakin masif dipergunakan politisi, para pendukung, dan elemen lainnya untuk memenangi pertarungan politik. Pembuatan konten tertentu untuk menjatuhkan lawan, mempromosikan kandidat sendiri, pastilah akan marak dalam tahun mendatang dan hal ini tak mengherankan. Kelihatannya problem soal hoaks tidak akan berhenti sampai di sini, malah ia menemukan momentum untuk terus berkembang dan dimanfaatkan kelompok mana pun.

Apakah di sini lalu kita bisa menilai, apakah media sosial memberikan kontribusi positif pada pembentukan jembatan untuk memperkecil rasa curiga, memperbesar apresiasi, dan mencari titik-titik temu di antara dua atau tiga kubu yang bertarung? Rasanya kita harus jujur untuk mengatakan media sosial cenderung memperluas jurang perbedaan antarkelompok yang ada dan media sosial tak lebih dari suatu ekstensi (perpanjangan) dari politik elite yang dilakukan para kandidat dan menyebarluaskan kepada para pendukung mereka.

Dengan logika algoritma yang ada dalam media sosial, kita akan cenderung mengonsumsi apa yang ‘sejalan dengan pikiran kita’ dan kita cenderung ‘menghindar atau tak mau mengonsumsi apa yang datang dari seberang’.

Jika bicara politik dalam arti elite, kita mungkin akan jatuh pada pesimisme karena lalu kita akan terjebak pada politik ‘zero sum game’. Dia menang atau kita menang. Tak ada ruang dialog, tak ada ruang bargaining, tak ada ruang dialog argumentatif yang memberi ruang-ruang untuk saling mendengar dan menerima pandangan pihak lain. Media sosial menjadi tempat semua kekesalan itu ditumpahkan.

Digital media literacy

Dalam kondisi semacam ini, lalu apa yang perlu kita lakukan? Jika media sosialnya sendiri lewat hukumnya yang berlaku memang sulit melakukan perubahan, yang perlu diintervensi adalah para penggunanya. Ya, kita sendiri. Jika kita menjuluki perangkat gadget yang kita pegang itu sebagai ‘smartphone’, apakah penggunanya (ya, kita sendiri) sudah lebih pandai daripada gadget itu sendiri? Jangan-jangan kita malah tertinggal jauh.

W James Potter menulis Media Literacy (2013, 6th Ed) dan ia mengatakan literacy awalnya merujuk pada kemampuan seseorang untuk membaca bahan yang tertulis. Dalam perkembangannya literacy berkembang menjadi visual literacy, story literacy, computer literacy, dan kini digital media literacy.

Jadi digital media literacy berarti kemampuan seseorang untuk bisa memproses informasi yang datang dari aneka jenis platform (mulai yang mainstream hingga yang digital).

Satu hal yang ditekankan Potter--walau ia mengambil sisi yang lebih seimbang--konsep media literacy berangkat dari asumsi ‘media itu bisa merusak’. Namun, Potter mencoba i­ngin menyeimbangkan pendapat bahwa media bisa merusak, tapi media juga bisa membantu, bisa mencerahkan, bisa berguna, dan lain-lain.

Dalam konteks ini media sosial yang sama, yang bisa dipergunakan untuk menyerang lawan, merusak reputasi dan lain-lain, juga bisa dipergunakan untuk membangun kebersamaan, menjembatani disharmoni, serta menyebarluaskan pencerahan bagi masyarakat.

Butuh pihak yang memikirkan dan bekerja untuk hal ini karena percepatan kepemilikan dan penggunaan media sosial sedemikian masif di Indonesia dan secepat itu pula kita membutuhkan pendidikan digital media literacy bagi para pengguna gadget di sekitar kita.

Dengan pengetahuan serta ketrampilan digital media literacy, kita akan diajak untuk menggunakan media secara bijak, tidak jatuh dalam perangkap menyebarluaskan ungkapan kebencian (hate speech), tidak jadi konsumen dan distributor hoaks. Sebaliknya, bisa menjadi peredam efek negatif media sosial dan bahkan bisa menghasilkan sesuatu yang lebih produktif dan bermanfaat dari media sosial yang kita miliki, dan kita pergunakan sehari-hari itu.

Lewat pendekatan nonelite seperti ini, mungkin kita bisa kembali mena­ruh harapan pada media sosial sebagai sesuatu yang mencerahkan, punya kekuatan dan daya jangkau yang luar biasa mengagumkan. Niatan-niatan baik akan bisa disokong siapa pun walaupun kita memiliki pilihan politik yang berbeda.

Media sosial perlu dikembalikan pada fungsi mencerahkan seperti ini, setelah sekian lama diperalat untuk pengabdian pada kepentingan politik kekuasaan semata. Untuk itu, mari kita bersiap untuk turut berpartisipasi memanfaatkan media sosial yang lebih mencerahkan itu.


Penulis : Ignatius Haryanto, Dosen Jurnalistik di Universitas
Sumber: https://mediaindonesia.com/indonesia-2018/135752/media-sosial-dan-demokrasi-harapan-atau-ancaman


0 Komentar