Di suatu kampung yang berada di kaki gunung. Berdiri sebuah SD yang bernama SD Negeri Satria, Sebuah sekolah kecil di pelosok kampung. Sudah sekitar enam tahun aku mengajar mata pelajaran SBDP (Seni Budaya dan Prakarya) dan sekaligus wali kelas 4C di situ. Walau bangunannya tidak terlalu luas tapi siswa-siswi di sana selalu datang dengan penuh semangat. Setiap hari aku naik sepeda motor berjarak sekitar 8 kilometer dari tempat kos, melewati jalan rusak dan becek dengan satu tujuan, menyalakan harapan di hati anak-anak dan melihatnya tumbuh menjadi lebih baik.
Tapi minggu ini semangatku diujii
Ada satu siswa bernama Izan, ia anak kelas 4C. Izan anaknya pintar, nilainya selalu 80 ke atas di dalam semua mata pelajaran, ramah, temannya pun banyak. Aku pun terbiasa dengannya menyapaku setiap pagi, saat aku memarkirkan motorku aku selalu mendengarnya bersorak
“Bu Rika !!”
Tapi 3 hari kebelakang ini ia jarang menyapa, nilainya mulai turun, dan ia saat istirahat selalu duduk sendirian di kelas. Walau ia diajak temannya ke kantin ataupun main, Izan selalu menjawab ia kenyang ataupun capek. Perubahan ini membuatku khawatir. Kira-kira ia kenapa ya ?
Saat istirahat, aku duduk di meja kantorku bersama Bu Eny, guru olahraga serta salah satu teman kantor. Kita berdua saling bercerita, mengeluh tentang nakalnya murid-murid dan banyaknya murid yang tidak tertarik untuk belajar. Lalu aku curhat kepadanya tentang Izan. Saat selesai, Bu Eny memberitahu berita yang membuatku hampir tersedak,
“Ibu belum dengar ? Orang tuanya Izan cerai, Bu. Makanya ia sekarang berubah. Saya tidak heran, berita seperti itu pasti menyakitkan buat dia. Apalagi masih kecil, Bu.” Bu eny menjelaskan.
Aku hanya mengangguk dan terdiam saat mendengar berita tersebut. Malangnya nasib anak itu. Lalu Bu Eny menambahkan
“Dan kalau saya dengar-dengar, ia sering tidak diberi uang saku, Bu.”
“Kenapa, Bu ? Biasanya ia bawa.”
“Katanya teman-teman ia dihukum oleh mamanya.”Aku mengangguk, mengerti pilihannya Ibunya lalu aku bertanya lagi, “Tapi ia bawa bekal, kan, Bu?”
“Sepertinya tidak, Saya saat istirahat hanya melihatnya menulis sesuatu di buku kosong dan minum air putih”. Aku terkejut mendengar informasi tersebut dan merasa kasihan kepadanya.
Saat waktunya pulang, aku melihat Izan jalan kaki. Aku menekan rem dan menoleh kepadanya,
“Izan, biasanya dijemput, kok jalan ?”
Ia melihatku dengan tatapan kosong lalu menjawab pelan,
“Ayah katanya sibuk, bu. Jadi saya disuruh jalan kaki.”
“Kalau mama ?”
“Mama kerja.”
“Mau Ibu antar ?” Aku menawarkan.
Ia menggeleng, “Tidak, terima kasih, Bu.”
Hatiku terasa berat melihatnya dalam kondisi ini, ia dulunya ceria, murah senyum. Sekarang ia pun jarang berbicara.
“Baiklah, hati-hati, ya.”
Aku mengangguk lalu menginjak gas dan mulai jalan pulang. Hatiku masih merasa berat saat melihat Izan begitu.
***
Saat malam hari, aku siap-siap buat besok dan mencari materi buat anak-anak. Lalu aku ingat tentang kondisi Izan tadi dan masalah anak-anak malas belajar, dan disitulah aku dapat ide. Aku bergegas mengambil laptopku yang ada di tas dan menyalakannya. Lalu aku mulai bikin lembaran kertas buat anak-anak menggambar. Aku print kertas tersebut dan ku bagi menjadi empat tumpukan, satu tumpukan untuk setiap kelas. Kemudian aku memasukkan satu tumpukan dalam tas untuk pelajaran besok. Lalu aku lanjut menyiapkan barang-barang yang lain.
Keesokan harinya. Bel istirahat berbunyi dan semua murid bergegas keluar kelas. Metode mengajarku yang baru ini berjalan lancar, anak-anak menjadi lebih aktif dan juga kreatif. Saat melewati beberapa murid sedang ngobrol, aku tidak sengaja dengar pembahasan mereka.
“Tadi pelajaran Bu Rika seru ! Kita diajak keluar ke taman sekolah terus disuruh gambar tanaman favorit kita !” Satu siswi menjelaskan.
“Iya ! Tadi juga semua gambaran kita dipajang di kelas !” Satu siswi lagi menambahkan.
Semua temannya kagum dan mereka mulai tidak sabar buat pelajaranku selanjutnya. Aku tersenyum tipis melihat semangat mereka. Lalu saat aku berjalan menuju kantor, aku melihat Izan duduk di pinggir lapangan basket, melihat temannya main. Aku senang melihatnya sudah bisa keluar kelas tetapi saat aku berjalan lebih dekat, ia terlihat tidak memperhatikan temannya. Melainkan menatap ke atas dengan tatapan kosong. Aku menghela nafas saat melihatnya seperti itu.
Kasihannya kamu, nak. Masih kecil kamu untuk memikirkan sesuatu sampai sebegitunya. Batinku. Lalu aku duduk di sebelahnya, ia terkejut dan menoleh ke arahku,
“Eh ! Bu Rika.” Ia mencium tanganku. Aku tersenyum tipis. Lalu aku bertanya dengan suara rendah dan tenang,
“Kamu baik-baik saja, nak?” Bukan untuk menuntut jawaban, tapi sekedar menunjukkan bahwa aku ada buatnya. Disitulah raut wajahnya tiba-tiba menjadi suram dan ia menatap ke bawah. Aku hanya tetap tersenyum tipis dan melihat ke arah langit,
“Izan, kalau ada apa-apa. Izan harus bilang itu ke seseorang, mungkin teman, atau saudara, ya ? Biar tidak terasa berat di hati.” Aku berkata lembut. Lalu aku melirik ke arahnya.
Ia menelan ludah lalu menjawab pelan, “Iya, Bu.”
“Izan bawa uang saku?” Tanyaku.
Ia menggeleng.
“Bawa bekal?”
Ia menggeleng lagi.
“Kenapa?”
“Tidak ada kue di rumah, Bu.” Ia menjawab pelan. Suaranya terdengar lelah dan sedikit serak. Aku hanya mengangguk lalu berdiri,
“Tunggu sini ya.” Aku bergegas ke kantor, lalu aku menaruh barang-barangku sebelum mengambil roti berisi selai cokelat yang aku sengaja bikinkan lebih untuk Izan. Lalu aku kembali keluar dan duduk sebelahnya,
“Ini buat Izan.”
Izan terlihat kaget dan ragu, “Eh! Tidak usah repot-repot, Bu! Izan tidak lapar kok!” Ia mencoba menolak.
“Sudah, makan saja.” Aku membujuk pelan.
Ia masih terlihat ragu tetapi akhirnya diterima dan ia mulai makan perlahan. Saat menunggunya makan, aku bertanya lagi,
“Apa kabar Izan akhir-akhir ini?” Aku melirik ke arahnya.
Ia menelan ludah lalu menjawab pelan, “Tidak begitu enak, Bu..”
“Kenapa? Demam? Atau … hanya banyak pikiran?” — Aku tidak memaksanya cerita, hanya ingin ia merasa aku ada disini buat tempat ia bercerita.
Ia terdiam sementara lalu menjawab “Aku kangen Ayah, Bu. Mama saya hari-hari pulang selalu larut malam, kadang kesel, kadang tidak mau ngomong sepatah katapun, Bu.”
Aku terdiam, memperhatikan raut wajahnya. Matanya sedikit berkaca-kaca dan suaranya terdengar serak. Lalu aku menjawab pelan,
“Sabar ya, nak. Dunia memang sedikit jahat. Tapi itu ada tujuannya, hidup ingin kita lebih kuat dalam fisik maupun mental.” Aku menjelaskan. Saat ia menelan gigitan terakhirnya, tiba-tiba ia dipanggil temannya dari tengah lapangan,
“Hei Izan ! Ayo main !”
Izan melihat ke arahku, ragu. Aku hanya mengangguk pelan, “Sana, main sama temen-temen.” Aku membujuk. Ia tersenyum lebar dan bergegas menuju teman-temannya. Akhirnya, ia terlihat bahagia lagi. Tetapi ia sepertinya masih belum begitu ceria seperti sebelumnya. Tidak apa, aku yakin ia hanya perlu waktu.
Keesokan harinya. Aku mengajar di kelas 4C. Saat aku masuk, semua sudah mengeluarkan buku-bukunya dan terlihat sangat semangat. Aku tersenyum tipis dan meletakkan bukuku di meja guru.
“Selamat pagi!” Aku menyapa. Mereka bersorak “Pagi, Bu Rika !!!”.
“Wahh, semangat sekali hari ini! Tahu ndak pelajaran kita hari ini apa??”
“Gambar !!” Mereka berseru lagi.
Aku tertawa kecil. Lalu ku melirik ke arah Izan, ia menundukkan kepalanya dan tatapannya kosong. Aku hanya menghela nafas dan melanjutkan pelajaran,
“Oke anak-anak, saya akan membagikan kertas ini buat kalian menggambar, siapkan pensil dan penghapus kalian lalu baris berpasangan kebelakang, ya.”
Aku menjelaskan sambil membagikan kertasnya. Saat aku menghampiri Izan aku menepuk pundaknya,
“Izan.”
Ia sedikit terkejut dan menoleh ke arahku. Aku tersenyum lembut,
“Siapkan alat tulismu terus baris ya, nak.” Aku memberikan kertasnya dan ia mengangguk.
Saat semua sudah mendapatkan kertas aku mengarahkan mereka ke taman sekolah. Tamannya di kelilingi bunga-bunga dengan beragam warna dan ada air mancur berbentuk lumba-lumba di tengah. Angin menghembus pelan, menjadikan suasananya tenang dan sejuk. Ikan koi berenang-renang dalam kolam ikan yang ada di pojok kiri taman, dihiasi patung kecil berupa seorang nelayan yang sedang mancing di pinggirnya.
Aku menepuk tanganku untuk menarik perhatian anak-anak,
“Oke, semuanya sudah bawa alat tulis?” Aku bertanya, memastikan mereka tidak lupa atau tidak ada yang ketinggalan. Semuanya mengangguk.
“Baik, tugas kalian hari ini adalah menggambar hal paling kalian suka di taman ini, tulis alasannya dan bisa kalian hias sesuka kalian!” Aku menjelaskan.
Mereka berseru “Horee !!”.
“Baik, Ibu kasih kalian 20 menit, dimulai dari ... Sekarang! ”
Mereka bergegas ke berbagai arah taman, mencari tanaman atau hiasan yang mereka suka. Aku mengelilingi taman, melihat apa yang mereka gambar. Ada yang menggambar berbagai macam bunga atau air mancur lumba-lumba tersebut. Lalu aku melihat Izan duduk di pinggir kolam ikan, menggambar patung kecil tersebut. Aku menghampirinya,
“Izan, gambar apa, nak?” Aku bertanya.
“Nelayan, Bu.”. Aku mengintip gambarannya dan lumayan bagus untuk anak kelas 4 sepertinya, ia pun memberi hiasan tambahan sendiri pada gambarnya.
“Wahh, bagus banget!” Aku memuji, Ia menoleh ke arahku dengan senyumannya yang ceria. Sepertinya ia sudah mulai kembali seperti dulu.
20 menit berlalu dan aku menepuk tanganku untuk menarik perhatian anak-anak,
“Oke anak-anak, baris seperti tadi, kita akan kembali ke kelas agar gambar kalian bisa dipajang !” Aku mengarahkan.
Mereka bergegas baris seperti awal lalu kuarahkan mereka kembali ke kelas. Saat sudah berada di kelas, kusuruh mereka mengumpulkan kertas gambarnya dan aku minta tolong untuk mereka memajangnya di dinding kelas yang sebelah belakang bersamaku. Saat memajang aku lihat Izan mulai sering ngobrol lagi bersama teman-temannya sambil memajang gambar-gambarnya. Saat sudah selesai, mereka semua kagum saat melihat gambarannya di pajang. Aku memberikan mereka waktu untuk melihat gambar teman-temannya juga sambil ku nilai satu-satu. Saat kulihat punya Izan, punyanya terlihat bagus, tiap detail itu persis seperti patungnya, gambarnya rapi, dan juga ada pantun di sampingnya;
Pagi hari burung bernyanyi
Mentari datang penuh cahaya
Hidup ini harus kita jalani
Walau terkadang penuh derita
Aku tersenyum lebar melihat kreatifitasnya, teman-temannya pun memujinya tanpa henti saat melihat karya yang ia ciptakan.
Sejak saat itu, Izan mulai lebih aktif, Ia sering bertanya tentang lomba puisi atau gambar. Pertama aku sedikit kaget dengan pertanyaannya tapi tidak pernah ku tanya kembali. Melainkan aku menurutinya dan aktif mengabarinya tentang lomba-lomba baru. Dua tahun berlalu, Izan makin berkembang, dan walau aku bukan wali kelasnya lagi, ia masih saja menghampiriku di kantor atau saat berpapasan, bertanya tentang lomba-lomba baru ataupun berkeluh kesah tentang pelajaran maupun tentang keluarganya. Lama kelamaan Izan menjadi terkenal di sekolah, ia sering menang lomba menggambar maupun lomba puisi. Ia pun sampai bisa masuk koran lokal. Aku terharu melihat salah satu muridku yang dulu menderita sekarang bangkit dengan penuh harapan dan potensi baru.
***
Wisuda kelas 6 pun datang, semua murid berfoto-foto dengan teman dan gurunya. Membuat kenangan terakhir sebelum memasuki sekolah baru. Lalu Izan menghampiriku, memakai jas hitam dan dasi yang rapi. Sambil membawa buket bunga tulip dan tas kado di tangannya. Aku tersenyum lembut dan menyapa,
“Izan, ya ampun. Kamu udah besar ya.” Aku berusaha menahan air mata.
Izan tersenyum tipis dan memberikanku buketnya dan tas kadonya,
“Buat Ibu. Terimakasih, Bu, sudah mendukung dan membimbing Izan sejak kelas 4. Izan merasa Bu Rika seperti Ibu izan sendiri” Ia berkata pelan.
Aku sudah tidak bisa menahan air mataku lagi, Aku menangis pelan, tersedu-sedu. Aku mencoba menjawabnya tapi tidak ada yang bisa keluar dari mulutku. Perasaan bahagia karena ia bisa mengejar mimpinya dan rasa sedih karena ia akan pergi itu campur aduk di dalamku. Izan juga ikut menangis pelan dan memelukku. Pada akhirnya kita tertawa bersama dan mengambil foto untuk kenangan terakhir. Saat acara selesai, Izan berpamitan denganku dan aku melihatnya keluar gerbang sekolah bersama teman-temannya, mengetahui ia belum tentu kembali keesokan harinya. Aku mengusap air mataku dan menghela nafas. Melihat salah satu muridku, Izan tumbuh dari masa sulit karena kekejaman hidup menjadi orang yang sukses dan berkarya itu membuatku sangat bangga.
Author : Asyifa Tania Humaira (VIII-D)
.png)
0 Komentar