KAPAN KITA BISA BERTEMU LAGI, BU ? (PART 2) - Habis

Keesokan harinya, tepat jam satu aku sudah menunggunya di rak yang sama. Tapi masih tidak ada bukunya. Aku mengintip dari celah-celah buku, berharap ia mungkin sedang menungguku, tapi tak ada orang. Aku menghembuskan nafas kesal. Sepertinya dia telat. Lalu aku duduk di lantai, bersandar pada rak tersebut, menunggu lelaki itu. Akhirnya setelah sepuluh menit, ada suara langkah kaki menghampiri rak. Aku segera berdiri. Kemudian ia memberikan aku bukunya lewat celah buku-buku. Aku menerimanya, 

“Kau telat.” Aku protes. 

Ia hanya tertawa kecil, lalu membungkuk agar bisa bertatapan. Deg! jantungku berdebar. Ia lelaki yang mendorongku kemarin. Lelaki tersebut tertawa, 

“Kamu gadis yang di bus kemarin.”

Tatapanku menjadi dingin, “Dan kamu yang mendorongku.”

Ia melambaikan tangan, “Maaf, maaf, aku hanya buru-buru.”

Lalu ia memperhatikan seragamku, “Hei, seragam kita sama.”

Saat ia berkata itu, pandanganku pindah ke seragamnya. Ia benar, seragam kita sama.

“Tapi aku belum pernah liat kamu di sekitaran sekolah, kamu anak baru?”

Aku bertanya. Ia mengangguk, “Iya, dan kamu pasti wakil OSIS yang cantik itu, kan?” ia kembali bertanya.

Pipiku memerah tapi aku tetap menjaga sikap dinginku, “Iya, emang kenapa? Kaget? Gadis yang kamu dorong wakil OSIS?” Aku berkata mantap. 

Ia hanya tertawa, “Tidak, wajar kalau wakil OSIS cantik, Makanya sekolahnya tertib.”. Pipiku semakin memerah dan aku menyembunyikan wajahku di balik buku

IPA tersebut. Ia hanya tersenyum lalu memperkenalkan diri, “Aku Tristan, Kamu?” 

“Aku Elena.”  

“Nama yang indah. Mungkin aku bisa mengantarmu pulang.” Ia menawarkan.

Aku mengangguk dan kami pulang bersama. Ternyata rumah kami bersebelahan. Sungguh takdir yang menarik. 

***

Sekarang aku berada di kamar, fokus belajar buat ujian minggu depan. Aku melihat ke arah jam dinding. sudah jam tujuh dan ayah pasti belum pulang. Aku menghela nafas dan memutuskan untuk mengunjungi suatu tempat agar pikiranku tenang. Aku mengambil jaketku dan bergegas ke bawah. Lalu saat melewati dapur, aku melihat banyak botol alkohol dan piring-piring kotor berserakan, terlihat seperti kapal pecah. Aku menghembuskan nafas kesal. Pasti bekas Ayah tadi malam. Nanti saja ku bersihkan. 

Aku membuka pintu depan dan naik sepeda menuju pemakaman. Saat sampai, aku parkir sepedaku lalu membuka gerbang pemakaman. Pemakaman tersebut terasa sunyi dan tenang sekaligus mengerikan. Hanya ada satu penjaga di pos, Pak Rehan. Beliau salah satu penjaga yang akrab denganku karena aku sering ke makam. Aku menyapanya. Beliau hanya mengangguk lalu menyadari bahwa aku tidak membawa bunga, 

“Tidak ada bunga? Tumben.” 

Aku baru ingat dan menepuk dahiku, “Oh iya! Tadi terburu-buru, jadi tidak sempat.” Aku mengeluh. 

Pak Rehan tertawa kecil lalu memberiku sebuah kresek penuh dengan kelopak bunga kamboja, “Ambil ini, cucuku tadi menjenguk dan mengambil kelopak-kelopak yang sudah jatuh. Untung dia pilih yang masih bagus, tetapi ia akhirnya lupa membawanya pulang.” 

“Ini beneran, Pak? Tidak apa-apa kalau aku ambil?” Aku bertanya ragu-ragu.

Pak Rehan mengangguk lalu melambaikan tangan, “Sudah, jangan banyak tanya. Ibumu sudah menunggu.”. Aku tersenyum lebar dan mengangguk. Aku berterimakasih sebelum bergegas ke makam ibu. 

“Bu, rasanya aku sudah lama tidak menjenguk, maafkan Elena, ya” Aku berkata halus sambil duduk di sebelah makamnya. “Gimana kabar Ibu? Semoga Ibu tenang ya disana. Elena nilai-nilainya sudah tinggi, Bu. Peringkat satu lagi tahun ini. Ibu bangga, kan?” Aku mengelus batu nisannya, bercerita tentang hari-hariku seolah-olah Ibu masih ada di sini. Kemudian aku terdiam sejenak, mencoba menahan air mataku sambil meletakkan dahiku di batu nisan Ibu, “Bu, kapan kita bisa bertemu lagi? Ibu sudah betah banget disana, ya? Kok sudah tidak muncul di mimpi Elena lagi.”. Usahaku gagal. Air mataku mengalir tiada henti, badanku mulai gemetar “Ibu… Aku merindukan Ibu. Kapan Ibu menjengukku lagi?.” Aku tersedu-sedu, air mataku menetes satu persatu di atas batu nisannya. Berharap Ibu mendengar keluhanku. Setelah beberapa saat, aku mengusap air mataku dan mulai menaruh kelopak-kelopak bunga kamboja yang tadi dikasih Pak Rehan. Aku tersenyum lebar saat melihat makam Ibu yang dipenuhi dengan warna merah muda yang indah dari bunga sakura tersebut, “Cantik, kan, Bu? Warnanya seperti Bunga Sakura di korea. Maaf ya, Elena tidak sempat membawa Ibu kesana.” Aku mengelus batu nisan Ibu sekali lagi sebelum berpamitan. 

***

Saat aku sampai rumah, aku memarkirkan sepeda di gudang sebelum masuk rumah. Saat aku buka pintu depan, aku disapa dengan bentakan dari Ayah, 

“Elena! Kamu kemana aja!? Lihat rumah ini! Seperti kapal pecah! Kamu sebagai gadis harusnya rajin bersih-bersih! Lihat! Pacarku hampir terluka gara-gara pecahan piring yang berserakan!” Ayah menunjuk ke arah gadis yang duduk di sofa sambil mengobati kakinya yang terluka. Aku mengepalkan tanganku, mencoba menahan amarah yang terasa panas di hati. Tapi aku sudah muak. 

“Oh, ku mohon, jangan cengeng! itu hanya luka kecil, ga sampe masuk rumah sakit, kan!? Kalau Ayah peduli banget sama dia, kenapa ga bersihkan sendiri aja!?” Aku membantah.

Ayah terlihat terkejut lalu melotot, “Berani ya sekarang!? Sini kamu !”

Ayah menyeretku ke ruangan kosong dan mendorongku masuk lalu mengunci pintunya dari luar. Aku berdiri dan mencoba membuka pintunya,

“Ayah! buka pintunya ! Ayah !” Aku berteriak sambil memukul-mukul pintu. “Ayah ! maafin Elena ! Ayah ! Bukain ! !” aku merengek, air mata mulai menetes. Memukul-mukul pintu sampai tanganku terluka dan berdarah.

Akhirnya, aku menyerah dan duduk di bawah lantai. Ruangannya terasa hampa dan kelam. Lalu aku tidak sengaja menyenggol meja sehingga sebuah bingkai foto yang ada di meja jatuh dan pecah, yaitu bingkai foto Ibu. Aku mengambil dan membersihkannya menggunakan lengan bajuku. Ibu terlihat cantik, tersenyum tipis, memakai gaun favoritnya yang berwarna merah muda seperti bunga sakura. Aku tersenyum lebar, menahan air mataku, tetapi gagal. “Ibu..” Aku memanggil Ibu seakan-akan Ibu akan mendengar panggilanku. Air mata mulai menetes dari daguku, darah dari tanganku mengotori bingkai yang ku pegang, badanku mulai gemetar.  Tiba-tiba ada tangan yang menyeka pipiku. Aku dangak dan melihat wajah yang sangat ku kenal, “Ibu.”. Ibu tersenyum, “Maafin Ibu, ya. Ibu ga bisa nemenin kamu sampai besar. Tapi Ibu bangga sama kamu, sangat bangga.” 

“Ibu… Elena kangen Ibu” Aku berkata pelan, tersedu-sedu. 

“Iya, Ibu tau. Sudah, jangan nangis. Jadi gadis yang berani dan kuat buat Ibu, ya?. Ibu akan selalu jaga Elena. Sekarang, bangun. Bangun, nak.” Ibu mengusap kepalaku. Lalu aku membuka mataku, semua terlihat buram. Aku hanya bisa mendengar suara sirine ambulan dan suara lelaki yang amat ku kenal. Tristan?. Aku mencoba berbicara tapi tenggorokanku terasa serak dan tidak ada energi untuk bergerak. Tiba-tiba semua menjadi gelap. 

*** 

Biip…Biip…Biip...

Terdengar suara monitor di sebelahku. Aku membuka mataku, disambut oleh cahaya lampu, semua luka di kaki dan tanganku telah di obati. Lalu saat aku melirik ke sebelah kananku ada yang menyambutku dengan senyuman lebar.

“Hei, manis.” Tristan menyapa, duduk sebelahku.

Sepertinya ia sudah menunggu lama.

“Hei.” Aku menyapa balik, sedikit berbisik karena tenggorokanku masih terasa serak.

“Apa yang terjadi?” Aku bertanya, sulit mengingat kembali kejadian tersebut.

Lalu Tristan menjelaskan bahwa ia dengar jeritanku dan mencoba mengecek keadaanku tetapi Ayah tidak memberi izin untuk masuk. Lalu ia mengintip lewat jendela kecil dan melihatku pingsan di ruangan tersebut. ia segera menelpon polisi dan ambulans. Ayah sekarang sudah diamankan pihak yang berwajib. Kemudian Tristan menawarkanku untuk tinggal bersama keluarganya untuk sementara saat aku sudah pulih.

“Benarkah? Tidak keberatan ?” Aku merasa ragu-ragu dengan tawarannya.

Ia mengangguk, “Tentu, santai, orang tuaku juga tidak masalah. Beberapa waktu lalu aku bercerita tentang kamu kepada ayah dan ibuku” ia meyakinkan. 

“Terimakasih.” Aku tersenyum lemah. Lalu ia memberikan sebuah kue tart keju. Salah satu kue favoritku. Aku menerima kuenya dan langsung memakannya. Rasanya seperti… Buatan punya Ibu. “Siapa yang buat kue ini?” Aku bertanya sambil berusaha menahan air mata. 

“Aku sendiri. Kenapa? Terlalu manis kah?” Ia kembali bertanya.

Aku menggeleng, “Enak, kok. Enak banget.” Aku menyeka pipiku.

Tristan tertawa kecil, “Oh, iya. Ini foto yang tadi.” Ia menaruh bingkai foto Ibu di meja kecil di sebelahku. “Ibumu cantik banget. Sepertimu.”

Aku tertawa kecil, “Gombal.”. Kami tertawa bareng sambil menonton matahari terbenam dari jendela.  

Sepertinya hidup ini tidak selalu harus berusaha sendiri, kadang kita harus ada seseorang untuk menunjukkan manisnya kehidupan.

***

Author : Assyifa Tania Humaira

(Ilustrasi Google) 

0 Komentar