KAPAN KITA BISA BERTEMU LAGI, BU ? (PART 1)

Sejak Ibu meninggal, aku menjadi tipe orang yang pendiam, tidak senang bercerita. Mungkin aku belum menemukan orang yang tepat untuk bercerita selain Ibu. Sebelumnya, tempat segala keluh kesah, semua ku ceritakan kepada Ibu dan Ibu selalu mendengarkan dan menasehati. Kenapa tidak cerita pada Ayah saja?. Bagaimana mau cerita? Ayah saja sering ke klub dan mabuk. Jarang memperhatikan anaknya sendiri. Katanya hidup ada manis dan pahitnya, tetapi aku selama ini hanya merasakan bagian yang pahit saja untuk mendapatkan kehangatan sebuah keluarga yang utuh. Sejak Sekolah Dasar, aku tergolong anak yang berprestasi. Tidak pernah keluar dari 3 besar dan itu membuatku selalu mendapatkan beasiswa hingga saat ini.   

Kendaraan berlalu-lalang, suara klakson berbunyi  sangat keras. Banyak orang sedang menunggu di halte bis seperti biasa, dan aku adalah salah satu orang itu. Aku duduk di situ sambil mendengarkan musik dan merapikan seragam sekolahku. Akhirnya bus yang ditunggu-tunggu datang. Aku berdiri dan segera bergegas menuju pintu masuk, takut busnya akan penuh. Saat aku akan naik, seseorang mendorongku dan aku hampir terjatuh. Aku melihat ke arah pintu bus, penasaran siapa yang mendorongku. Aku melihat seorang lelaki memakai seragam yang sama sepertiku dan ia menatapku sambil senyum, 

“Ups, maaf, aku tidak sengaja mendorongmu. Sini aku bantu kamu naik.” 

Ia mengulurkan tangannya. Aku hendak mengambil tangannya tapi ia menarik tangannya lagi. 

“Tetapi, sepertinya bisnya sudah penuh. Well, too bad too sad, princess.” 

Ia tertawa kecil dan melambaikan tangannya. Aku hanya menatapnya, kaget. Lalu pintu bisa menutup dan ia menatapku sekali lagi sebelum mencari tempat duduk di dalam. Aku mengepalkan tanganku. Dia pikir dia siapa mempermainkanku seperti itu!?. Aku benar-benar sangat kesal dengan lelaki itu. Bell sekolah akan berbunyi dua puluh menit lagi, dan aku harus menunggu tiga puluh menit lagi untuk bus selanjutnya. Aku menghela nafas kesal dan duduk kembali di halte. Ini mungkin pagi terburuk dalam seumur hidupku. 

Akhirnya bis selanjutnya yang ditunggu datang. Aku segera naik dan duduk di dekat jendela. Lalu melihat keluar. Jalan raya sudah tidak macet, tidak ada lagi anak-anak sekolah yang diantar orang tuanya. Aku melirik jam tangan, sudah jam setengah delapan. Berarti bell masuk kelas sudah dibunyikan, seharusnya aku sudah ada di sekolah tepat jam tujuh. Tiba-tiba handphone-ku bergetar berkali-kali. Aku mengeluarkannya dari kantong rok. Ternyata itu Sheila, teman baikku. Ia bertanya-tanya mengapa aku belum ada di sekolah, ia mengira aku sakit atau ada acara keluarga mendadak. Aku tersenyum tipis melihatnya panik, mengirimi aku pesan tanpa henti. Akhirnya ku jawab, 

“Aku tidak kenapa-kenapa, hanya telat”. 

Sepertinya ia sudah lega dan tidak mengirimi aku pesan lagi, atau mungkin … Ia ketahuan memakai handphone-nya di kelas. Aku tertawa kecil, membayangkan Sheila di ditegur guru, mengira ia bermain dengan handphone-nya di kelas.

Akhirnya, setelah dua puluh menit aku sampai di sekolah dan hendak segera masuk kelas. Tapi aku ditegur oleh Bu Sri di lorong, Guru yang paling disiplin sekaligus Pembina OSIS,

“Kenapa kamu telat?” Beliau membentak. 

Aku cium tangannya sambil menjawab dengan santun, “Tadi dijalan macet, Bu.”. 

“Ada saja kamu alasannya. Sana, cepat masuk kelas.” Bu Sri menegur sekali lagi sebelum aku bergegas masuk kelas. 

Kemudian, saat masuk kelas, aku hampir tersandung saat melihat wali kelasku, Bu Risma yang mengajar hari ini. Aku baru ingat bahwa hari ini ada mata pelajaran prakarya dan yang mengajar Bu Risma. Aku mengambil nafas dalam-dalam dan memasuki kelas sambil mengetuk pintu dengan perlahan. Bu Risma menatapku dengan tatapan dingin. Aku segera mencium tangannya, 

“Maaf, bu. Tadi saya–” 

Bu Risma memotong percakapanku, “Iya, cepat duduk.”

Aku menelan ludah, aku tau Bu Risma tidak suka murid yang telat. Aku segera duduk di bangkuku dan mengeluarkan buku tulis. 

Bel berbunyi merdu, menandakan waktunya istirahat. Bu Risma menaruh kembali spidol di meja guru, 

“Baiklah, silahkan istirahat dulu.”

Semua murid berseru, Horee!

Beberapa bergegas ke kantin dan beberapa bergabung dengan teman-temannya. Aku ingin di kelas saja tetapi Sheila memaksaku keluar kelas, 

“Ayolah, Elena! Temenin ke kantin! Sebentar saja!” Ia membujukku. 

Akhirnya aku menyerah dan setuju menemaninya ke kantin. Saat di kantin, sambil menunggu bakso yang ia pesan datang. Sheila bertanya, 

“Tadi kenapa kamu telat, na? Biasanya selalu tepat waktu.” 

Aku menghela napas, “Aku hanya bangun kesiangan.”

Sheila merenggut, ia tau aku berbohong, “Bohong. Ayolah, cerita saja. Aku ga gigit.” Ia membujuk.

Aku menggeleng, “Aku tidak bohong, beneran bangun kesiangan.”

Sheila akhirnya menyerah dan hanya mengangguk. Lalu ia mengalihkan pembicaraan,

“Ayo jajan!” Ia berkata. 

“Uangku hilang.” 

“Oh, tapi kamu bawa bekal, kan?” tanya dia. Aku menggeleng.  Sheila terlihat kasihan padaku, ini sudah kedua kali aku tidak membawa uang jajan ataupun bekal. Lalu ia menawarkan, “Mau ku traktir? Aku ikhlas kok.” Ia tersenyum tipis. 

“Tidak, terimakasih.”  

Sheila tidak menerima tolakan tersebut, lalu mulai menggangguku, “Kamu ga asik, Elena.” Ia tertawa kecil.

Aku meliriknya dan ikut tertawa, “Mungkin satu bungkus makaroni.” 

“Gitu dong.” Ia tersenyum lebar. Aku bersyukur banget mempunyai teman sepertinya. Lalu saat aku menemani Sheila antri untuk membeli bakso. Aku melihat dari kejauhan, di tengah kerumunan ada seorang lelaki yang sangat mirip dengan lelaki tadi pagi yang mendorongku. Aku berkedip beberapa kali, memastikan itu bukan imajinasiku. Tiba-tiba lelaki itu menghilang, entah itu ditutupi oleh kerumunan murid atau mungkin memang imajinasiku saja. Aneh. 

Saat pulang sekolah. Aku mampir ke perpustakaan, hendak meminjam beberapa buku untuk persiapan ujian. Saat aku hendak mengambil buku paket IPA, ada yang mendahului dan mengambil dari sisi sebelah rak. Aku terkejut dan berseru,

“Hei! Itu punyaku!”. Aku mengintip dari celah buku-buku, penasaran siapa yang mengambilnya. Tapi yang aku bisa lihat hanya badannya, ia sepertinya lebih tinggi dari aku. 

“Iyakah? Aku tidak melihat namamu di buku ini.” Seorang lelaki bersuara dari sebelah rak.  

“Tapi aku melihatnya duluan!” Aku protes sekali lagi. 

Lelaki tersebut hanya tertawa kecil, lalu ia menawarkan, “Gini saja, kita gantian memakai buku ini. Aku memakainya hari ini, besok ku kasih ke kamu, gimana? Deal?”

Aku berpikir-pikir terlebih dahulu. Aku tidak mau membuat kerusuhan dengan orang lain, apalagi saat di perpustakaan, sementara itu ujiannya masih 2 hari lagi jadi aku masih ada waktu untuk belajar pelajaran lain. Aku menerima tawarannya dan memberi peringatan tegas,

“Besok jam satu harus sudah kamu kembalikan.”

Lelaki tersebut hanya tertawa kecil lagi, “Siap, gadis manis.”

Aku tersenyum tipis dengan panggilannya kepadaku, “Ketemu besok, library boy.” Kemudian aku lanjut mencari buku lain. 

(Bersambung)

Author : Assyifa Tania Humaira

(Ilustrasi Google) 

0 Komentar