BUKU BIRU

Titik-titik air hujan mulai turun. satu per satu mulai jatuh di kaca jendela. Hujan di luar terdengar sangat deras. Tetapi bagiku, hujan itu terdengar sangat tenang.

Hari ini, aku dan anakku, Lina, yang sudah berumur dua puluh tahun, sedang membersihkan rak-rak buku di kamarku atau bisa kupanggil ‘Perpustakaan Kecil Rina’. Rak buku tinggi yang aku letakkan di pojok kamarku dengan kursi goyang dan meja kecil di sebelahnya, aku biasa membaca buku sambil menikmati teh hangat dan biskuit jika ada waktu luang.

Saat aku sedang membersihkan buku-buku di lantai, Lina tiba-tiba memanggilku,

“Ma, ini buku apa?” Ia bertanya.

Aku mendongak dan melihat buku biru yang amat kukenal,

“Oh, ini buku favorit Mama.”

Aku mengambilnya dari Lina dan membuka buku tersebut. Di dalam, ada sebuah surat dan foto-fotoku saat berumur dua puluh empat tahun dengan sahabat pertamaku di halaman paling terakhir. Lina duduk di sebelahku dan mengintip apa yang di dalam buku tersebut,

“Siapa itu, Ma?” Ia bertanya penasaran.

Aku tersenyum lembut, “Ini sahabat Mama.” Aku menjawab simpel.

Lalu Lina terlihat sangat bingung dan menatap foto-fotonya dengan teliti,

“Tapi ini tidak terlihat seperti Tante Diana, Tante Diana rambutnya itu pendek.” Ia menunjuk gadis dengan rambut lebih panjang yang ada di sebelahku di dalam foto tersebut. Aku tertawa kecil dan menggeleng,

“Itu bukan Tante Diana, Nak. Itu sahabat pertama mama saat kuliah, sebelum Tante Diana.” Aku menjelaskan. Lalu Lina terlihat sangat penasaran,

“Sahabat pertama? Mama tidak pernah cerita ke Lina.” Ia cemberut.

Aku hanya tersenyum dan tertawa, “Mau mendengar ceritanya?” Aku menawarkan, mengetahui ia selalu senang mendengarku bercerita.

Lina memikirkan tawaran dari ku sebentar. Ia menatap rak buku yang hampir kosong dan siap dibersihkan, lalu melirikku yang duduk manis, siap bercerita. Tak lama, Lina tersenyum dan memperbaiki posisi duduknya,

“Mungkin kita bisa istirahat sebentar.”

Ia meletakkan kain basah di sebelahnya dan siap mendengar ceritaku. Aku tersenyum lebar dan mulai bercerita,

“Jadi, tiga puluh enam tahun yang lalu…”

***

Pada suatu hari, saat aku pulang dari kuliah. Aku mengunjungi perpustakaan seperti biasa. Aku membuka pintu kaca, udara dingin dari kipas angin menerpa kulitku saat aku melangkah masuk. Aku tersenyum tipis, aku selalu menyukai rasa tenang seperti ini. Tidak ada suara apapun selain suara langkah kaki dan ketikan dari mesin ketik yang lembut. Aku menghampiri rak buku yang biasa aku kunjungi, novel. Saat aku sedang mencari buku, terdengar suara yang amat ku kenal, 

“Rina, mencari buku apa lagi hari ini?”. Aku menoleh ke suara tersebut, ternyata itu adalah Mbak Fila—Salah satu pustakawan yang akrab denganku. Aku tersenyum,

“Oh, Mbak, apakah ada buku-”.

“Fantasi?” Ia menebak.

Aku tersenyum lebar, tidak merasa kaget sama sekali. Aku memang selalu mencari buku genre fantasi. Lalu aku mengangguk, 

"Tetapi ada sedikit romansanya, ya.” Aku menambahkan.

Mbak Fila memegang dagunya sambil berpikir, “Fantasi dan romansa..” Ia bergumam. 

Lalu ia mendongak pada bagian atas rak buku, “Mungkin ada di atas sana, sebentar, Mbak ambilkan.” 

Ia menyeret tangga beroda. Lalu menaiki tangga tersebut, tak lama kemudian ia turun dengan buku berwarna oranye dengan desain kebun jeruk. Aku menerimanya dan berterimakasih. Lalu beliau dipanggil oleh pelanggan lain,

“Eh, nyari buku yang lain sendiri dulu, bisa, kan?” Ia bertanya.

Aku mengangguk dan ia bergegas melayani pelanggan tersebut. Aku kembali mencari satu buku lagi, dan akhirnya menemukan buku berwarna biru dengan desain di bawah laut, kelihatan menarik. Saat aku mau mengambilnya, aku merasa ada yang menariknya di balik rak buku. Aku merengut,

“Hei! Aku duluan yang lihat!” Aku protes. 

Kita mulai rebutan buku tersebut. Akhirnya, aku menarik sekuat mungkin dan mendapatkannya. Aku tersenyum lebar, merasa bangga. Tapi saat aku melihat siapa yang menariknya di sebelah sana. Aku terkejut, di situ terlihat seorang gadis yang kelihatannya seperti seumuran denganku, dengan rambut panjang berwarna coklat tua. Ia sepertinya terlihat malu dan kesakitan. Telapak tangannya terlihat berdarah. Aku merasa sangat menyesal dan melangkah maju,

“Maaf, aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku hanya-” Kalimatku terpotong saat gadis itu mundur satu langkah, lalu melarikan diri. 

Aku terasa semakin terkejut dan khawatir. Apakah aku membuat dia takut? Apakah ia tidak apa-apa? Apakah tadi lukanya dalam? semua pertanyaan itu berputar di dalam otakku. Kecemasanku bertambah setiap memikirkannya. Aku bahkan tidak merasa tenang membaca novelku dan akhirnya hanya bisa membaca 2 bab. Aku menghela napas kesal, aku menutup buku novel tersebut kemudian memutuskan untuk meminjamnya dan melanjutkan di rumah. Aku berjalan kaki menuju kosku, merasa bersalah. Aku tadi juga tak sempat minta maaf dengan benar. 

Dua hari setelah kejadian itu berlalu, aku berusaha mencari gadis itu untuk minta maaf dengan benar. Tetapi ia tidak bisa kutemukan dimanapun. Aku menghela napas dan menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Aku hendak menyerah tetapi saat sedang mencari tempat duduk kosong. Di situ, terlihat wajah yang amat ku kenal, mengenakan radio walkman berwarna putih. 

Deg! Gadis yang ku cari-cari itu sedang duduk di salah satu meja, membaca buku sambil mendengarkan musik. 

Aku menelan ludah, detak jantungku semakin cepat, rasa gugup mulai mengisi hatiku. Aku mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Lalu dengan perlahan mengambil langkah maju ke arahnya. Aku menarik kursi dan duduk di sebelahnya. Gadis tersebut menyadari kehadiranku tetapi ia hanya melirik, lalu kembali membaca bukunya. Aku melirik telapak tangannya yang kini telah diperban dan menghela napas, 

“Hai.” Aku menyapa pelan.

Tetapi ia tidak memperhatikanku sama sekali. Aku merasa semakin gugup dan tanganku mulai gelisah,

“Aku minta maaf … Karena sudah melukaimu hari itu. Aku tidak tahu apa yang kupikirkan, aku tahu aku terlihat sombong tetapi aku benar-benar tidak berniat untuk-” Kalimat ku terpotong saat aku mendengarnya tertawa kecil. 

Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum. Gadis tersebut melepas headphone-nya dan menutup buku yang ia baca, 

“Tidak apa, kok. Aku sudah terbiasa. Terkadang di perpustakaan kita memang harus berebutan untuk mengambil buku yang ingin kita baca.” Ia menyimpulkan.

Aku tertawa kecil mendengar komentarnya dan mengangguk,

“Iya, lebih enak di toko buku saja. Kalau bukunya habis, tinggal nanya kalau masih ada stoknya atau tidak.” Aku menambahkan.

Gadis tersebut tertawa, lalu mengulurkan tangannya, “Namaku Kayla, kamu?” Ia memperkenalkan diri.

Aku tersenyum lebar dan berjabat tangan dengannya, “Aku Rina.”

Lalu, sejak hari itu, hubungan kita menjadi lebih dekat hingga akhirnya menjadi sahabat dan ternyata, kami mempunyai banyak kesamaan. Kami berdua suka buku genre fantasi, suka rambut yang di kepang, kami berdua bahkan sangat akrab dengan salah satu pustakawan di sini. Kami sering bertemu di kafe yang sama jika hari libur dan di perpustakaan setiap pulang kuliah. Kami sering berfoto-foto dan aku juga biasa mengganggunya dengan mengambil foto dengannya saat ia ketiduran.

Kayla pernah bercerita tentang kakak laki-lakinya, Bakti, yang berumur dua puluh tujuh tahun. Menurut Kayla, Bakti itu terlalu protektif dan kadang mengesalkan. Aku selalu tertawa saat ia bercerita tentang kakak laki-lakinya, walau aku sendiri anak tunggal. Aku tau bahwa ia dan kakaknya peduli satu sama lain, meskipun mereka terdengar seperti saudara yang sering bertengkar.

Kemudian, di lain hari...

Saat aku dan Kayla hendak bertemu di perpustakaan seperti biasa. Aku melihatnya masuk perpustakaan dengan lelaki tinggi, rambut hitam yang berantakan, dan ia mengenakan baju putih dan celana hitam. Aku merasa terkejut dan pipiku mulai memerah. Ia terlihat sangat menawan. Pipiku semakin memerah ketika kami bertatapan. Aku segera melirik ke arah lain, pura-pura tidak melihatnya. Tiba-tiba ada suara terdengar dari sampingku,

“Kamu kenapa?”.  Aku terkejut, hampir jatuh dari kursiku, ternyata itu hanya Kayla yang sudah berdiri di sebelahku, kepalanya miring ke samping. Aku berdehem dan merapikan rambutku,

“TIdak apa, hanya melamun saja.” Aku menjawab asal.

Kayla masih terlihat tidak percaya tetapi ia hanya mengangkat bahunya, lalu duduk sebelahku. Aku masih merasa penasaran dengan lelaki itu yang masuk dengan Kayla, kemudian aku memutuskan untuk bertanya, 

"Kayla, tadi siapa yang masuk denganmu?”.

“Oh, itu Kakakku.” Ia menjawab simpel.

Aku hampir keselek mendengar jawabannya, “Yang kamu biasa cerita itu?” Aku bertanya lagi, tidak percaya.

Kayla terlihat semakin bingung dengan reaksiku dan mengangguk pelan. Aku sangat terkejut, aku kira kakaknya terlihat seperti lelaki yang biasa menggunakan sandal kemana-mana menurut cerita-ceritanya. Tetapi ini sungguh diluar dugaanku. Kayla tertawa kecil melihat reaksiku dan nyengir,

"Kenapa? Jatuh cinta ya?” Ia menggodaku.

Aku melotot, tetapi ia tidak salah. Saat ia menatapku, hatiku terasa berbunga-bunga. Aku menghela napas dan mengangguk. Kayla terlihat sangat terkejut,

“Serius? kamu beneran menyukai rambut sarang burung itu!?” Ia bertanya lagi tidak percaya.

Aku tertawa mendengar komentarnya dan mengangguk lagi.

Sejak hari itu, Kayla membantuku untuk mendekatkan hubunganku dan Bakti. Aku sering titip surat padanya untuk Bakti dan ia selalu menggangguku tentangnya, tetapi aku sudah mulai terbiasa. Lalu, Bakti mulai menjawab semua suratku dan Kayla memberikanku alamat apartemen mereka agar ia tidak akan jadi ‘tukang pos pribadi’ kami. Aku hanya tertawa saat ia protes dan berterimakasih. 

Sejak itu ami mulai sering saling mengirim surat dan aku juga mulai memberanikan diri untuk ngobrol bersamanya secara langsung. Aku juga mengetahui bahwa Bakti itu ternyata seorang pustakawan baru yang masuk dua hari yang lalu.

Saat aku janjian bertemu dengan Kayla seperti biasa, ia tidak datang. Aku kira ia hanya sedang sibuk tetapi itu terjadi selama dua minggu berturut-turut. Kemudian, aku tanya kepada Bakti, ia terlihat sedih dan menghindari tatapanku,

“Aku seharusnya tidak boleh memberitahu ini, tetapi …” Ia terdiam sejenak lalu menghela napas, “Kayla mempunyai kanker jantung.” Ia menjelaskan. 

Aku terasa terkejut, pikiranku tidak karuan. Sebelum ia bisa berkata apa-apa lagi. Aku sudah bergegas keluar perpustakaan dan menuju rumah sakit.

Saat aku memasuki kamar rumah sakit Kayla dirawat, ia terlihat lemas dan wajahnya pucat. Aku jatuh berlutut, menangis di sampingnya sambil ia mengelus kepalaku, berusaha menenangkanku. Aku menemaninya sampai jam dua belas malam. Kayla terbangun dan menatapku yang terlihat sangat lelah karena menangis sepanjang malam. Kayla memegang tanganku dan berkata pelan, 

"Terimakasih, sudah menjadi temanku selama tiga bulan ini. Semoga kita bisa berteman sampai tua di kehidupan lain, ya ?”

Air mataku mulai menetes membasahi pipi dan aku mengangguk pelan, menggigit bibirku, menahan rasa sakit, “Iya, Selamat malam.” Aku terisak. 

Kayla tersenyum lemah, “Selamat malam.” Ia menutup matanya, genggamannya mengendur. 

Biiiip, monitor jantung berbunyi dan memperlihatkan garis lurus, menandakan ia sudah tiada.

Aku menangis pelan di sebelahnya sambil menutup mulutku, terisak-isak. Ternyata selama ini, di balik wajahnya yang ceria, dia sedang melawan penyakit yang sangat mematikan.

Saat di pemakamannya, aku dan Bakti yang paling lama tinggal di makamnya, sampai kehujanan. Lalu Bakti mengantarku pulang. Beberapa hari berlalu dan saat aku sedang membersihkan kamarku, aku menemukan beberapa fotoku dan Kayla di dalam laci. Aku menghela napas, semua kejadian terekam jelas di dalam benakku. Setiap kali melihat foto kita bersama, hatiku terasa  seperti teriris pisau, sahabat sejati pertamaku, kini sudah pergi selamanya.

Beberapa hari berlalu, Bakti mengungkapkan rasa cintanya kepadaku. Aku dengan senang hati menerimanya dan kami sering mengunjungi makam Kayla dengan membawa bunga favoritnya, tulip berwarna putih. Hingga akhirnya aku dan Bakti menikah.

***

Aku menutup buku biru tersebut dan menatap Lina, “... Dan itu ceritanya.” Aku tertawa kecil saat melihatnya menyeka pipinya. Lina tersedu,

“Kasihannya, tetapi ayah tidak pernah cerita tentang adiknya..” Ia merasa bingung.

“Begitulah ayahmu, selalu memendam semua masalahnya.” Aku menghela napas dan menyentuh pipinya dan tersenyum lembut,

"Mungkin nanti kamu bisa nemenin mama ke makam Tante Kayla, mau?”. Lina tersenyum lebar dan mengangguk. Aku tertawa kecil dengan sifat ceria dan semangatnya. Ia benar-benar mirip dengan Kayla.))

***

Author : Assyifa Tania Humaira

(Ilustrasi Google) 

0 Komentar